tag:blogger.com,1999:blog-51116189638071125882024-03-12T16:51:45.382-07:00Masruri"Hidup Adalah Perjalanan Mulia Menuju Kematian"bangmashttp://www.blogger.com/profile/05582767906576212712noreply@blogger.comBlogger9125tag:blogger.com,1999:blog-5111618963807112588.post-10959045234836110272011-06-19T01:28:00.000-07:002011-06-19T01:36:53.478-07:00Membuat Read more pada blogBagi temen-temen yang mau buat read more atau "baca selengkapnya" pata postingan blog, langsung aja <a href="http://kolom-tutorial.blogspot.com/2008/01/trik-mudah-membuat-more.html">klik disini,</a>bangmashttp://www.blogger.com/profile/05582767906576212712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5111618963807112588.post-47554850512799864942011-03-25T21:34:00.000-07:002011-06-19T01:21:33.482-07:00Berpikir Logis dan Sikap Positif terhadap Matematika<div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;"><b>Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan Sikap Positif terhadap Matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik</b></span></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;"><b>Sahat Saragih</b></span></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div style="text-align: left;"><span style="font-size: large;"><i>Abstrak: Proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru di kelas menjadi persoalan yang sangat menarik untuk didiskusikan. Hal ini disebabkan karena pembelajaran bermakna yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis siswa dan sikap positif terhadap matematika sangat jarang dilakukan. Yang ada hanya proses penghafalan konsep-konsep matematika yang sifatnya mekanistik. Akibatnya, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa sangat tidak memuaskan. Tulisan ini menguraikan tentang pendekatan matematika realistik yang baik secara teoritis maupun dari beberapa hasil penelitian yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.</i></span></div><span class="fullpost"><br />
<span style="font-size: large;"><i>Kata kunci: berpikir logis, sikap positif, dan matematika realistik.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;"><b>1. Pendahuluan</b></span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;"><b>1.1 Latar Belakang Masalah</b></span><br />
<span style="font-size: large;">Tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien, dan efektif (Puskur, 2002). Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam</span><br />
<span style="font-size: large;">*) Sahat Saragih adalah dosen Pendidikan Matematika UNIMED & Mahasiswa Program S-3 Jurusan Pendidikan Matematika PPS UPI Bandung 1</span><br />
<span style="font-size: large;">mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika.</span><br />
<span style="font-size: large;">Hal senada juga diungkapkan oleh Soedjadi (2004) bahwa pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang meliputi: (1) tujuan yang bersifat formal yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak, dan (2) tujuan yang bersifat material yang memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika. Dari tujuan di atas terlihat bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan penataan nalar atau kemampuan berpikir logis serta sikap positif siswa yang berguna dalam mempelajari ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari.</span><br />
<span style="font-size: large;">Namun, sampai saat ini masih banyak keluhan, baik dari orang tua siswa maupun pakar pendidikan matematika, tentang rendahnya kemampuan siswa dalam aplikasi matematika, khususnya penerapan di dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, masalah yang berkaitan dengan perbandingan senilai, misalnya seorang petani membeli 12 kg pupuk urea seharga Rp 4500. Berapa rupiah uang yang diperlukan jika ia membeli sebanyak 72 kg? Banyak siswa kelas II SMP yang mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut (Saragih, 2000).</span><br />
<span style="font-size: large;">Hasil penelitian Suryanto dan Somerset terhadap 16 SLTP pada beberapa propinsi di Indonesia juga menemukan bahwa hasil tes mata pelajaran matematika siswa sangat rendah, utamanya pada soal cerita matematika (aplikasi matematika) Zulkardi (2001).</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">Sebenarnya tidak hanya siswa pendidikan dasar di Indonesia yang memiliki kemampuan yang rendah dalam penerapan matematika. Swoboda (2004) mengatakan bahwa siswa pendidikan dasar di Negara Polandia juga mengalami kesulitan dalam penerapan matematika antara lain konsep perbandingan. Selanjutnya dikatakan bahwa pada konferensi-konferensi internasional aspek-aspek baru pemahaman konsep perbandingan masih dirujuk (Swaboda, 2004).</span><br />
<span style="font-size: large;">Cooper dan Harries (2002) melaporkan hasil penelitian terhadap 121 anak-anak usia 11-12 tahun pada akhir tahun pertama mereka di sekolah menengah yang berasal dari dua sekolah menengah di Inggris Utara. Hasilnya menunjukkan ketidakmampuan mereka menggunakan pertimbangan-pertimbangan realistis ketika memecahkan masalah-masalah realistik.</span><br />
<span style="font-size: large;">Sementara itu, tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Hal ini jelas sangat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika ke depan. Oleh karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama. Hasil empiris di atas jelas merupakan suatu permasalahan yang merupakan faktor penting dalam mewujudkan tujuan pembelajaran matematika sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum pendidikan matematika.</span><br />
<span style="font-size: large;">Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu dicari suatu pendekatan yang dapat mendukung proses pembelajaran matematika yang menyenangkan dan bukan menyeramkan sehingga dapat meningkatkan motivasi sekaligus mempermudah</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">pemahaman siswa dalam belajar matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang saat ini sedang dalam uji coba adalah pendekatan matematika realistik.</span><br />
<span style="font-size: large;">Pendekatan matematika realistik ini sesuai dengan perubahan paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal ini adalah salah satu upaya dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan matematika.</span><br />
<span style="font-size: large;">1.2 Perumusan Masalah</span><br />
<span style="font-size: large;">Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan diungkapkan dan akan dicari solusi pemecahannya adalah: bagaimana menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif terhadap matematika?</span><br />
<span style="font-size: large;">1.3 Tujuan Penulisan</span><br />
<span style="font-size: large;">Atas dasar permasalahan di atas, secara teoritis tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengungkap sejauh mana pendekatan matematika realistik dapat menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif siswa dalam matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam matematika.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;"><b>2. Kajian Literatur dan Bahasan</b></span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;"><b>2.1 Proses Menghafal dan Berpikir Logis</b></span><br />
<span style="font-size: large;">Rendahnya hasil belajar matematika disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ditinjau dari tuntutan kurikulum yang lebih menekankan pada pencapaian target. Artinya, semua bahan harus selesai diajarkan dan bukan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika (Marpaung, 2001). Faktor lain yang cukup penting adalah bahwa aktivitas pembelajaran di kelas yang selama ini dilakukan oleh guru tidak lain merupakan penyampaian informasi (metode kuliah) dengan lebih mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin, sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab, guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan memberi soal latihan yang sifatnya rutin dan kurang melatih daya nalar, kemudian guru memberikan penilaian. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Marpaung (2001), Zulkardi (2001), dan Darhim (2004).</span><br />
<span style="font-size: large;">Akhirnya terjadilah proses penghafalan konsep atau prosedur, pemahaman konsep matematika rendah, dan tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak kompleks. Siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku dan jadilah pembelajaran mekanistik. Akibatnya, pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terjadi.</span><br />
<span style="font-size: large;">Tidak heran apabila belajar bila dengan cara menghafal tersebut tingkat kemampuan kognitif anak yang terbentuk hanya pada tataran tingkat yang rendah. Kecenderungan anak terperangkap dalam pemikiran menghafal karena iklim yang terjadi dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">Cara-cara menghafal semakin intensif dilakukan anak menjelang ujian. Anak belajar mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, unsur-unsur, dan sebagainya. Namun ketika waktu ujian berlangsung, anak seperti menghadapi kertas buram. Anak tidak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya untuk menjawab pertanyaan.</span><br />
<span style="font-size: large;">Menurut Mukhayat (2004), belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas berpikir anak dan mengandung akibat buruk pada perkembangan mental anak. Anak akan cenderung suka mencari gampangnya saja dalam belajar. Anak kehilangan sense of learning, kebiasaan yang membuat anak bersikap pasif atau menerima begitu saja apa adanya yang mengakibatkan anak tidak terbiasa untuk berpikir kritis.</span><br />
<span style="font-size: large;">Proses pembelajaran seperti inilah yang merupakan ciri pendidikan di negara berkembang, termasuk di Indonesia (Romberg, 1998; Armanto, 2001). Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu diusahakan perbaikan pembelajaran siswa dengan mengubah paradigma mengajar menjadi paradigma belajar, yaitu pembelajaran yang lebih memfokuskan pada proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep, melakukan refleksi, abstraksi, formalisasi, dan aplikasi.</span><br />
<span style="font-size: large;">Proses mengaktifkan siswa ini dapat dikembangkan dengan membiasakan anak menggunakan berpikir logis dalam setiap melakukan kegiatan belajarnya. Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk karakter anak dalam bagaimana berpikir, bagaimana berbuat, dan bagaimana bertindak sebagai</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">perwujudan aplikasi pemahaman untuk menjawab segala bentuk kebutuhan dan persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, kepada guru diharapkan secara dini dapat melakukan proses pembelajaran yang dapat meningkatkan berpikir logis.</span><br />
<span style="font-size: large;">Untuk memahami apa yang dimaksud dengan berpikir logis dapat dirujuk beberapa pendapat, antara lain Plato yang mengatakan bahwa berpikir adalah berbicara dalam hati, atau Gieles dalam Mukhayat (2004) yang mengartikan bahwa berpikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, dan mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu sama lain.</span><br />
<span style="font-size: large;">Kata logis sering digunakan seseorang ketika pendapat orang lain tidak sesuai dengan pengambilan keputusan (tidak masuk akal) dari suatu persoalan. Hal ini berarti bahwa dalam kata logis tersebut termuat suatu aturan tertentu yang harus dipenuhi. Menurut Mukhayat (2004), kata logis mengandung makna besar atau tepat berdasarkan aturan-aturan berpikir dan kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum yang digunakan untuk dapat berpikir tepat.</span><br />
<span style="font-size: large;">Dalam matematika, kata logis erat kaitannya dengan penggunaan aturan logika. Poedjawijatna (1992) mengatakan bahwa orang yang berpikir logis akan taat pada aturan logika. Logika berasal dari kata Yunani, yaitu Logos yang berarti ucapan, kata, dan pengertian. Logika sering juga disebut penalaran. Dalam logika dibutuhkan aturan-aturan atau patokan-patokan yang perlu diperhatikan untuk dapat berpikir dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga diperoleh kebenaran secara rasional.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">Berpikir logis tidak terlepas dari dasar realitas, sebab yang dipikirkan adalah realitas, yaitu hukum realitas yang selaras dengan aturan berpikir. Dari dasar realitas yang jelas dan dengan menggunakan hukum-hukum berpikir akhirnya akan dihasilkan putusan yang dilakukan. Menurut Albrecht (1992), agar seseorang sampai pada berpikir logis, dia harus memahami dalil logika yang merupakan peta verbal yang terdiri dari tiga bagian dan menunjukkan gagasan progresif, yaitu: (1) dasar pemikiran atau realitas tempat berpijak, (2) argumentasi atau cara menempatkan dasar pemikiran bersama, dan (3) simpulan atau hasil yang dicapai dengan menerapkan argumentasi pada dasar pemikiran.</span><br />
<span style="font-size: large;">Dari uraian di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan proses menghafal dengan berpikir logis. Menghafal hanya mengacu pada pencapaian kemampuan ingatan belaka, sedangkan berpikir logis lebih mengacu pada pemahaman pengertian (dapat mengerti), kemampuan aplikasi, kemampuan analisis, kemampuan sintesis, bahkan kemampuan evaluasi untuk membentuk kecakapan (suatu proses).</span><br />
<span style="font-size: large;">Untuk dapat menghantar siswa pada kegiatan berpikir logis hendaknya kepada siswa dibiasakan untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi dengan mencoba menjawab pertanyaan “mengapa”, “apa”, dan “bagaimana”. Sebagai contoh, kepada siswa kelas III SD diminta untuk menjawab pertanyaan berapa hasil kali 6x8. Bagi siswa yang telah terbiasa dengan menghafal tentu ia dapat menjawab langsung 48. Namun jika ditanya mengapa hasilnya 48, siswa akan kebingungan karena dibenaknya hanya tergambar ingatan angka 48. Bagi siswa yang terbiasa dengan berpikir logis, pertanyaan seperti di atas sudah sering ia dapatkan. Bahkan, ia akan</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">mencoba memahami apa arti dari perkalian tersebut. Hal ini berarti bahwa siswa telah menangkap makna atau pengertian dari soal tersebut.</span><br />
<span style="font-size: large;">Sebagai konsekuensinya perlu diperhatikan pendekatan pembelajaran yang digunakan di kelas. Ruseffendi (2001) berpendapat bahwa untuk membudayakan berpikir logis serta bersikap kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan matematika realistik. Selanjutnya dikatakan, jika kita (guru) rajin memperhatikan lingkungan dan mengaitkan pembelajaran matematika dengan lingkungan maka besar kemungkinan berpikir logis siswa itu akan tumbuh.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;"><b>2. 2 Sikap siswa terhadap matematika</b></span><br />
<span style="font-size: large;">Seperti telah diuraikan di atas, tujuan pendidikan matematika antara lain adalah penekanannya pada pembentukan sikap siswa. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1988).</span><br />
<span style="font-size: large;">Sikap merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak sesuatu, konsep, kumpulan ide, atau kelompok individu. Matematika dapat diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-beda, mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian, sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak matematika.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">Berkaitan dengan sikap positif siswa terhadap matematika, beberapa pendapat, antara lain Ruseffendi (1988), mengatakan bahwa anak-anak menyenangi matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana. Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya. Menurut Begle (1979), siswa yang hampir mendekati sekolah menengah mempunyai sikap positif terhadap matematika yang secara perlahan menurun.</span><br />
<span style="font-size: large;">Siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara lain terlihat sungguh-sungguh dalam belajar matematika, menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah dengan tuntas, dan selesai pada waktunya.</span><br />
<span style="font-size: large;">Dengan demikian, untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya. Oleh karena itu, materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal. Hal ini sesuai dengan karakteristik pendekatan matematika realistik.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;"><b>2.3 Pendekatan Matematika Realistik (PMR)</b></span><br />
<span style="font-size: large;">Perubahan paradigma pembelajaran dari pandangan mengajar ke pandangan belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa membawa konsekuensi perubahan yang mendasar dalam proses</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">pembelajaran di kelas. Perubahan tersebut menuntut agar guru tidak lagi sebagai sumber informasi, melainkan sebagai teman belajar. Siswa dipandang sebagai makhluk yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya sendiri.</span><br />
<span style="font-size: large;">Untuk mendukung proses pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut dan sesuai dengan tujuan pendidikan matematika, diperlukan suatu pengembangan materi pelajaran matematika yang difokuskan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan disesuaikan dengan tingkat kognitif siswa, serta penggunaan metode evaluasi yang terintegrasi pada proses pembelajaran tidak hanya berupa tes pada akhir pembelajaran (formatif atau sumatif) (Subandar, 2001). Ditinjau dari perubahan kurikulum yang saat ini sedang diberlakukan, yaitu Kurikulum 2004, pendekatan matematika realistik adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut.</span><br />
<span style="font-size: large;">Matematika realistik dikembangkan berdasarkan pandangan Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan kegiatan manusia yang lebih menekankan aktivitas siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa (Soedjadi, 2004). Matematika Realistik pertama kali dikembangkan oleh Institut Freudenthal di Negeri Belanda dan telah menempatkan negara tersebut pada posisi ke-7 dari 38 negara peserta TIMSS tahun 1999 (Mullis et al., 2000). Matematika realistik juga telah diadopsi oleh banyak negara maju seperti Inggris, Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brasilia, Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia (de Lange,</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">1996; Zulkardi, 2001). Salah satu hasil yang dicapai oleh negara-negara tersebut adalah prestasi siswa yang meningkat, baik secara nasional maupun internasional (Romberg, 1998).</span><br />
<span style="font-size: large;">Hasil studi di Puerto Rico menyebutkan bahwa prestasi siswa yang mengikuti program pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik berada pada persentil ke-90 ke atas (Turmudi, 2004; Haji, 2005), suatu prestasi yang sangat fantastis untuk mata pelajaran matematika yang banyak dipandang siswa sebagai mata pelajaran yang sangat menakutkan dan membosankan.</span><br />
<span style="font-size: large;">Di Indonesia, beberapa hasil penelitian, antara lain yang dilakukan Fauzan (2002), menemukan bahwa hasil pembelajaran geometri siswa kelas IV dan V SD dengan pendekatan matematika realistik pada tes akhir lebih tinggi daripada pembelajaran secara tradisional. Demikian juga hasil penelitian Armanto (2002) yang menemukan bahwa hasil pembelajaran perkalian dan pembagian bilangan besar siswa kelas IV SD dengan pendekatan matematika realistik lebih baik daripada pembelajaran secara tradisional.</span><br />
<span style="font-size: large;">Menurut Turmudi (2004), pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik sekurang-kurangnya telah mengubah minat siswa menjadi lebih positif dalam belajar matematika. Hal ini berarti bahwa pendekatan matematika realistik dapat mengakibatkan adanya perubahan pandangan siswa terhadap matematika dari matematika yang menakutkan dan membosankan ke matematika yang menyenangkan sehingga keinginan untuk mempelajari matematika semakin besar.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">Ide utama dari pendekatan matematika realistik adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan dunia nyata atau real world (Gravemeijer, 1994). Menurut De Lange (1996) dan Suharta (2004), proses pengembangan konsep dan ide matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut Matematisasi Konsep dan memiliki model skematis proses belajar seperti gambar berikut:</span><br />
<span style="font-size: large;">Dunia Nyata</span><br />
<span style="font-size: large;">Matematisasi dalam Aplikasi Matematisasi dan</span><br />
<span style="font-size: large;">Refleksi</span><br />
<span style="font-size: large;">Abstraksi dan Formalisasi</span><br />
<span style="font-size: large;">Gambaran proses belajar di atas tidak mempunyai titik akhir. Hal ini menunjukkan bahwa proses lebih penting daripada hasil akhir, sedangkan titik awal proses belajar menekankan pada konsepsi yang sudah dikenal siswa. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa setiap siswa memiliki konsep awal tentang ide-ide matematika. Setelah siswa terlibat secara bermakna dalam proses belajar, ia dapat ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi untuk secara aktif membangun pengetahuan baru.</span><br />
<span style="font-size: large;">Matematika tidak disajikan dalam bentuk hasil jadi (a ready-made product), tetapi siswa harus belajar menemukan kembali konsep-konsep matematika. Siswa</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">membentuk sendiri konsep dan prosedur matematika melalui penyelesaian soal yang realistik dan kontekstual. Hal ini sesuai dengan pandangan teori constructivism yang menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat diajarkan oleh guru, melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa (Cobb dalam Armanto, 2001).</span><br />
<span style="font-size: large;">Soal kontekstual (context problem) dimaksudkan untuk menopang terlaksananya suatu proses penemuan kembali (reinvention) yang memberi peluang bagi siswa untuk secara formal memahami matematika (Gravemeijer,1994, Subandar, 2001). Oleh karena itu, matematika harus dekat dengan siswa dan relevan dengan situasi kehidupan sehari-hari.</span><br />
<span style="font-size: large;">Menurut Gravemeijer (1994) dan Armanto (2002), terdapat tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu a) penemuan terbimbing dan bermatematika secara progresif (guided reinvention and progressive mathematization); b) fenomena pembelajaran (didactical phenomenology); dan c) model pengembangan mandiri (self-developed model). Prinsip penemuan terbimbing berarti bahwa siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Soal kontekstual mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan kaidah matematika yang berlaku.</span><br />
<span style="font-size: large;">Bermatematika secara progresif dapat dibagi atas dua komponen, yaitu bermatematika secara horizontal dan vertikal (Treffers dan Goffree,1985). Yang dimaksud bermatematika secara horizontal adalah siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami 14</span><br />
<span style="font-size: large;">melalui penskemaan, perumusan, dan pemvisualisasian sehingga menemukan kesamaan dan hubungan dengan model matematika yang telah diketahui siswa. Bermatematika secara vertikal adalah siswa menyelesaikan bentuk matematika formal atau tidak formal dengan menggunakan konsep, operasi, dan prosedur matematika yang berlaku.</span><br />
<span style="font-size: large;">Prinsip fenomena pembelajaran menekankan pada pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan konsep-konsep matematika kepada siswa. Menurut Treffers dan Goffree (Subandar, 2001), konteks memainkan peranan utama dalam semua aspek pendidikan, pembentukan konsep, pembentukan model, aplikasi, dan dalam mempraktekkan keterampilan-keterampilan tertentu. Dalam konteks perlu mempertimbangkan dua aspek, yaitu: (1) kesesuaian aplikasi konteks dalam pengajaran dan (2) kesesuaian dampak dalam proses penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut. Aktivitas pembelajaran berlangsung secara progresif dan kental dengan diskusi interaktif antara siswa-siswa dan siswa-guru serta lingkungan.</span><br />
<span style="font-size: large;">Prinsip pengembangan model mandiri (self-developed model) berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan matematika tidak formal dan matematika formal dari siswa. Siswa mengembangkan model tersebut dengan menggunakan model-model matematika (formal dan tidak formal) yang telah diketahuinya dengan menyelesaikan soal kontekstual dari situasi nyata (real) yang sudah dikenal siswa, kemudian ditemukan “model dari” (model of) dalam bentuk informal kemudian diikuti dengan menemukan model dalam bentuk formal sehingga akhirnya</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">mendapatkan penyelesaian masalah dalam bentuk pengetahuan matematika yang standar.</span><br />
<span style="font-size: large;">Dari prinsip di atas diperoleh kesimpulan bahwa Pendekatan Matematika Realistik (PMR) secara garis besar memiliki lima karakteristik (De Lange, 1996; Treffers, 1991; Gravemeijer, 1994; Darhim, 2004), yaitu: (1) menggunakan masalah kontekstual sebagai peluang bagi aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana suatu konsep matematika yang diinginkan dapat muncul; (2) menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal dengan perhatian diarahkan pada pengenalan model, skema, dan simbolisasi daripada mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung; (3) menggunakan kontribusi siswa dengan kontribusi yang besar pada proses pembelajaran datang dari siswa sendiri di mana mereka dituntut dari cara-cara informal ke arah yang formal; (4) terjadinya interaktivitas dalam proses pembelajaran di mana negosiasi secara eksplisit, intervensi kooperasi, dan evaluasi sesama siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses pembelajaran secara konstruktif dengan menggunakan strategi informal sebagai jantung untuk mencapai formal; dan (5) menggunakan berbagai teori belajar yang relevan, saling terkait, dan terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Pendekatan holistik menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah, tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus diwujudkan dalam pemecahan masalah.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">3. Simpulan dan Saran</span><br />
<span style="font-size: large;">Proses pembelajaran matematika di kelas sampai saat ini masih didominasi oleh paradigma mengajar yang memiliki ciri-ciri antara lain: guru aktif menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima; pembelajaran berfokus (berorientasi) pada guru, bukan pada siswa; ketergantungan siswa pada guru cukup besar; independensi berpikir siswa kurang dikembangkan; pemahaman siswa cenderung pada pemahaman instrumental, bukan pada pemahaman relasional. Praktek pembelajaran di atas jelas tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-ide kreatif, kurang melatih daya nalar, dan tidak terbiasa melihat alternatif lain yang mungkin dapat dipakai dalam menyelesaikan suatu masalah. Akhirnya siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku, siswa menghafalkan saja semua rumus atau konsep tanpa memahami maknanya dan tidak mampu menerapkannya dalam situasi lain. Akibatnya terjadilah pembelajaran mekanistik.</span><br />
<span style="font-size: large;">Pembelajaran bermakna yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika sering terabaikan. Akibatnya tidak sedikit siswa yang merasa takut terhadap matematika, merasa terbebani dengan soal-soal matematika, dan bahkan bila mungkin lebih baik menghindari matematika. Akibatnya, beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil belajar yang kurang memuaskan. Oleh karena itu perlu perubahan pembelajaran dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa. Upayakan proses pembelajaran yang menyenangkan.</span><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: large;">Tunjukkan bahwa matematika sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari sehingga matematika tidak dipandang sebagai sesuatu yang menyeramkan. Penilaian harus dilakukan terhadap keseluruhan, baik proses maupun hasil dalam rangka untuk memperbaiki proses pembelajaran, bukan merupakan akhir dari proses pembelajaran.</span><br />
<span style="font-size: large;">Perubahan paradigma pembelajaran tersebut sesuai dengan paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat diajarkan oleh guru, melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa. Paham ini mendasari pendekatan matematika realistik.</span><br />
<span style="font-size: large;">Kajian teori yang telah dikemukakan di atas maupun hasil penelitian yang telah dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri menunjukkan bahwa pendekatan matematika realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di jenjang pendidikan dasar di Indonesia dalam rangka untuk meningkatkan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam matematika.</span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><i><b>Pustaka Acuan</b></i></span><br />
<blockquote><span style="font-size: large;"><i>Albrecht, K. 1992. Daya Pikir. Semarang: Dahar Prize.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Armanto, D. 2001. Aspek Perubahan Pendidikan Dasar Matematika melalui Pendidikan Matematika Realistik (PMR). (Kumpulan makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Pada Sekolah Dan Madrasah). Medan: tidak diterbitkan.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Armanto, D. 2002. Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesian Primary Schools: A Prototype of Local Instructional Theory. Dissertation, University of Twente. Enschede: Print Partners Ipskamp.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Begle, E. G. 1979. Critical Variables in Mathematics Education. Washington D.C: The Mathematical Association of America and NCTM.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Cooper, B. dan Harries, T. 2002. Children’s Responses To Contrasting Realistic Mathematics Problems: Just How Realistic Are Children Ready To Be? The Netherlands: Educational Studies in Mathematics, Kluwer Academic Publishers.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Darhim. 2004. Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal Dalam Matematika. Disertasi, tidak diterbitkan. Bandung: PPS UPI.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>De Lange, Jan. 1996. Assessment: No Change without Problems. The Netherlands: Freudenthal Institute.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Fauzan, A. 2002. Applying Realistic Mathematics Education in Teaching Geometry in Indonesian Primary Schools. Doctoral Dissertation, University of Twente, Enschede, The Netherlands.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Gravemeijer, K.P.E. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CD-b Press.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Haji, S. 2005. Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar Matematika di Sekolah Dasar. Disertasi, tidak diterbitkan. Bandung: PPS UPI.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Marpaung, Y. 2001. Implementasi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia. (Kumpulan makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Pada Sekolah Dan Madrasah). Medan.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i><br />
</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Mukhayat, T. 2004. Mengembangkan Metode Belajar yang Baik Pada Anak. Yogyakarta: FMIPA UGM.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Gonzales, E.J., Gregory, K.d., Garden, R.a., O’Connnor, K.M., Chrostowski, S.J., and Smith, T.a. (2000). TIMSS 1999: International Mathematics Report. Boston: The International Study Center, Boston College, Lynch School of Education.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Poedjawijatna. 1992. Logika Filsafat Berpikir. Jakarta: PT. Rineka Cipta.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Puskur. (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar: Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Balitbang Depdiknas.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Romberg, T.A. 1998. Problematics Features of the School Mathematics Curiculum. In Bishop et al. (Eds.). International Handbook of Mathematics Education. Edited Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Ruseffendi, H.E.T. 1988. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Ruseffendi, H.E.T. 2001. Evaluasi Pembudayaan Berpikir Logis Serta Bersikap Kritis dan Kreatif Melalui Pembelajaran Matematika Realistik. Makalah disampaikan Pada Lokakarya di Yogyakarta. Yogyakarta.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Saragih, S. 2000. Analisis Strategi Kognitif Siswa SLTP Negeri 35 Medan dalam Menyelesaikan Soal-soal Matematika. Jurnal Penelitian Kependidikan Tahun 10. NO. 2 Des 2000. Malang.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Soedjadi, R. 2004. PMRI dan KBK dalam Era Otonomi Pendidikan. Buletin PMRI. Edisi III, Jan 2004. Bandung: KPPMT ITB Bandung.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Subandar, J. 2001. Aspek Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Kumpulan Makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Pada Sekolah Dan Madrasyah. Medan.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Suharta, I.G.P. 2004. Matematika Realistik: Apa dan Bagaimana? Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Edisi 38. Depdiknas Jakarta.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Swoboda, E. 2004. How to prepare prospective teachers to teach mathematics: Some Remarks. eswoboda@univ.rzeszow.pl. Poland Rzeszow University.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i><br />
</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Treffers, A. dan Goffree. 1985. Rational Analysis of Realistic Mathematics Education. The Wiskoba Program. In L.Streefland (ed.), Proceeding of the ninth International Conference for the Psychology of Mathematics Education. Volume 2. Utrecht: OW & OC.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Turmudi. 2004. Pengembangan Materi Ajar Matematika Realistik di Sekolah Dasar. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembelajaran Matematika Realistik Bagi Guru SD di Kota Bandung tgl. 7,13, dan 14 Agustus 2004 UPI Bandung. tidak diterbitkan.</i></span><br />
<span style="font-size: large;"><i>Zulkardi. 2001. Realistics Mathematics Education (RME): Teori, Contoh Pembelajaran dan Teman Belajar di Internet. Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional pada tgl. 4 April 2001 di UPI Bandung: Bandung: tidak diterbitkan.</i></span></blockquote><span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
</span>bangmashttp://www.blogger.com/profile/05582767906576212712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5111618963807112588.post-35711412445181833272011-03-14T21:42:00.000-07:002011-03-14T21:45:36.980-07:00kumpulan artikel pendidikanSobat yang pengen Download artikel pendidikan <br />
<a href="http://www.4shared.com/document/9KRfALGo/Copy_of_Kumpulan_Artikel_Pendi.html">klik disini</a>bangmashttp://www.blogger.com/profile/05582767906576212712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5111618963807112588.post-64691811547510796622011-03-12T00:29:00.000-08:002011-06-19T01:42:50.789-07:00Paradigma Baru Pendidikan Matematika<div style="text-align: left;">Oleh <b>Dr. Sutarto Hadi, M.Si. M.Sc.</b></div>FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin<br />
<blockquote></blockquote>Pendahuluan<br />
Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan, untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja. Artikel ini mencoba menguraikan paradigma baru tersebut. Secara garis besar akan diuraikan tentang beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika, seperti kontruktivis, kontekstual (contextual teaching and learning atau CTL), dan secara khusus akan diuraikan tentang pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR). <br />
<span class="fullpost"><br />
Paradigma Baru Pendidikan<br />
Beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara para siswa mencatatnya pada buku catatan. Dalam proses pembelajaran yang demikian, guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan guru. Pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian. Guru sendiri merasa belum mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Guru yang baik adalah guru yang menguasai bahan, dan selama proses belajar mengajar mampu menyampaikan materi tanpa melihat buku pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang selama 2 kali 45 menit dapat menguasai kelas dan berceramah dengan suara yang lantang. Materi pelajaran yang disampaikan sesuai dengan GBPP atau apa yang telah tertulis di dalam buku paket. <br />
Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni (2000) praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian. <br />
Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000). <br />
<br />
Filsafat Kontruktivis dan Pembelajaran Kontekstual<br />
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang relevan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Pedekatan terebut adalah: konstruktivis dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).<br />
<br />
Konstruktivis<br />
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).<br />
Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).<br />
Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomen baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997).<br />
Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.<br />
<ol><li>Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.</li>
<li>Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).</li>
<li>Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997).</li>
</ol>Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar. <br />
<ol><li>Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.</li>
<li>Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.</li>
<li>Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.</li>
<li>Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.</li>
<li>Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno, 1997).</li>
</ol><br />
Pembelajaran Kontekstual<br />
Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu kenyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Orang akan melihat makna dari apa dipelajarinya apabila ia dapat menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan dan pengelamannya terdahulu. Sistem pembelajaran kontekstual didasarkan pada anggapan bahwa makna memancar dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberi makna pada isi. Lebih luas konteks, dalam mana siswa dapat membuat hubungan-hubungan, lebih banyak makna isi ditangkap oleh siswa. Bagian terbesar tugas guru, dengan demikian, adalah menyediakan konteks. Apabila siswa dapat semakin banyak menghubungkan pelajaran sekolah dengan konteks ini, maka lebih banyak makna yang akan mereka peroleh dari pelajaran-pelajaran tersebut. Menemukan makna dalam pengetahuan dan ketrampilan membawa pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tersebut (Johnson, 2002). <br />
Ketika siswa menemukan makna dari pelajaran di sekolah, mereka akan memahami dan mengingat apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran konteksual memungkina siswa mampu menghubungkan pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi mereka, sehingga dengan menyediakan pengalaman-pengalaman baru bagi para siswa akan memacu otak mereka untuk membuat hubungan-hubungan yang baru, dan sebagai konsekuensinya, para siswa dapat menemukan makna yang baru (Johnson, 2002).<br />
Pembelajaran kontekstual merupakan sistem yang holistik (menyeluruh). Ia terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan, yang apabila dipadukan akan menghasilkan efek yang melebihi apa yang dapat dihasilkan oleh suatu bagian secara sendiri (tunggal). Persis seperti biola, celo, klarinet dan alat musik yang lain dalam suatu orkestra yang mempunyai suara yang berbeda, tetapi secara bersama-sama alat-alat musik tersebut menghasilkan musik. Jadi, bagian-bagian yang terpisah dari CTL melibatkan proses yang berbeda, apabila digunakan secara bersama-sama, memungkinkan siswa membuat hubungan untuk menemukan makna. Setiap elemen yang berbeda dalam sistem CTL memberikan kontribusi untuk membantu siswa memahami makna pelajaran atau tugas-tuga sekolah. Digabungkan, elemen-elemen tersebut membentuk suatu siswa yang memungkinkan siswa melihat makna dari pelajaran sekolah, dan menyimpannya (Johnson, 2002).<br />
Dari uraian di atas, CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) pengaturan belajar sendiri, (4) kolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mendewasakan individu, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. (Johnson, 2002).<br />
<br />
Pendidikan Matematika Realistik<br />
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995). <br />
Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka. <br />
Pada saat ini, PMR mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru, siswa, orangtua, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah. Beberapa sekolah dasar di Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMR dalam skala terbatas. Sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori ‘baru’ tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar. Makalah ini akan menguraikan secara garis besar tentang sejarah PMR, mengapa kita perlu mengembangkan PMR di Indonesia, bukti empiris prospek penerapan PMR di Indonesia, dan ditutup dengan harapan terhadap implementasi PMR di tanah air. <br />
<br />
Sejarah PMR<br />
PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman/Belanda.<br />
Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi. <br />
<br />
Mengapa kita perlu mengembangkan PMR?<br />
Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri: cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek; guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented; dan manajemen bersifat sentralistis (Zamroni, 2000). Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni, 2000). <br />
Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):<br />
<ol><li>Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);</li>
<li>Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;</li>
<li>Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan</li>
<li>Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.</li>
</ol>Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Salah satu pertimbangan mengapa Kurikulum 1994 direvisi adalah banyaknya kritik yang mengatakan bahwa materi pelajaran matematika tidak relevan dan tidak bermakna (Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan, 1999). <br />
Beberapa konsepsi PMR tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa PMR sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia.<br />
<br />
Konsepsi tentang siswa<br />
PMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:<br />
<ul><li>Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;</li>
<li>Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;</li>
<li>Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;</li>
<li>Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;</li>
<li>• Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.</li>
</ul><br />
Peran guru<br />
PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:<br />
<ul><li>Guru hanya sebagai fasilitator belajar;</li>
<li>Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;</li>
<li>Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan</li>
<li>Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.</li>
</ul><br />
Konsepsi tentang pengajaran<br />
Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):<br />
<ul><li>Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;</li>
<li>Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;</li>
<li>Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;</li>
<li>Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.</li>
</ul><br />
Bukti Empiris Prospek Penerapan PMR di Indonesia<br />
Beberapa penelitian tentang PMR telah dilaksanakan di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan bukti empiris tentang prospek pengembangan dan implementasi PMR di tanah air. Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini.<br />
Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002) tentang implementasi materi pembelajaran realistik untuk topik luas dan keliling di kelas 4 sekolah dasar di Surabaya menunjukkan bahwa materi PMR dapat digunakan dalam pembelajaran matematika di SD. Dalam penelitian tersebut Fauzan (2002) menemukan bahwa para guru dan siswa-siswa menyukai materi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, yaitu menurut mereka materi tersebut sangat berbeda dengan buku yang dipakai sekarang baik dari segi isi maupun pendekatannya. Dengan menggunakan materi PMR di kelas, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, di mana siswa lebih aktif dan kreatif, guru tidak lagi menggunakan metode ‘chalk dan talk’, dan peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi pembimbing dan narasumber. <br />
Penelitian Fauzan (2002) juga menemukan bahwa pada awalnya terdapat berbagai masalah yang disebabkan oleh sikap negatif siswa dalam belajar matematika yang merupakan akibat pendekatan tradisional pengajaran matematika. Untuk mengatasi hal tersebut Fauzan (2002) menyarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut:<br />
<ul><li>Sedini mungkin menjelaskan kepada siswa tentang perubahan peran mereka dan guru mereka dalam proses belajar mengajar, dan hal itu berbeda dengan cara sebelumnya atau yang selama ini dipraktikkan di kelas.</li>
<li>Guru perlu menjelaskan kepada para siswa tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, dan jenis jawaban yang diharapkan untuk menyelesaikan soal-soal kontekstual.</li>
<li>Berkenaan dengan sikap negatif siswa-siswa dalam proses belajar mengajar matematika, hal-hal berikut dapat membantu mengubah sikap tersebut:</li>
</ul><blockquote><ol><li>Menciptakan pendahuluan yang menantang sebelum siswa mulai menyelesaikan soal-soal kontekstual sehingga siswa merasa gembira dan bertanggung jawab menyelesaikan soal-soal tersebut.</li>
<li>Menciptakan suasana demokratis di kelas sehingga siswa tidak merasa takut untuk secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Suasana demokratik artinya siswa merasa bebas untuk aktif dalam proses belajar tanpa merasa takut membuat kesalahan jika mereka ingin bertanya atau menjawab pertanyaan.</li>
<li>Menerapkan aturan-aturan dalam mengajukan pertanyaan dan dalam menjawab pertanyaan (misalnya mengangkat tangan, tidak boleh berteriak). Katakan kepada siswa bahwa ada konsekuensinya jika mereka tidak mengikuti aturan yang telah disepakati (misalnya dalam menjawab soal harus disertai dengan alasan, kalau itu dilakukan siswa akan mendapat nilai lebih baik).</li>
</ol></blockquote><ul><li>Sebagian orangtua siswa membantu anaknya dalam pengerjakan soal-soal pekerjaan rumah (PR), oleh karena itu mereka perlu diberitahu tentang perubahan pendekatan pembelajaran matematika ini, yaitu dari pendekatan tradisional ke pendekatan realistik.</li>
<li>Disadari bahwa para siswa dan guru perlu waktu untuk dapat mengadaptasikan pendekatan PMR ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Sehingga untuk dapat menerapkan PMR secara berhasil perlu pembiasaan melalui latihan di kelas. </li>
</ul><br />
Penelitian Armanto (2002) tentang pengembangan alur pembelajaran lokal topik perkalian dan pembagian dengan pendekatan realistik di SD di dua kota, Yogyakarta dan Medan, menunjukkan bahwa siswa dapat membangun pemahaman tentang perkalian dan pembagian dengan menggunakan strategi penjumlahan dan pembagian berulang. Penelitian Armanto (2002) juga menunjukkan bahwa siswa belajar perkalian dan pembagian secara aktif; membangun pemahaman mereka sendiri dengan menggunakan strategi penemuan kembali, dan mendapatkan hasil (menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok. Kesempatan siswa untuk belajar dalam situasi yang berbeda-beda mendorong mereka merumuskan kembali proses belajar mereka. Selama proses belajar siswa menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam belajar perkalian dan pembagian bilangan multi-angka.<br />
Hasil yang kurang lebih sama juga dilaporkan oleh Hadi (2002). Dalam penelitiannya yang dilaksanakan di Yogyakarta dengan mengambil sampel siswa-siswa SLTP ditemukan hasil positif dalam penggunaan materi PMR dalam pembelajaran matematika, yaitu siswa menjadi lebih termoticvasi, aktif, dan kreatif dalam proses belajar mengajar disebabkan oleh materi yang menarik karena dilengkapi dengan gambar-gambar dan cerita. Siswa juga menunjukkan kemajuan dalam belajar matematika, yang ditujukkan dengan pemahaman konsep matematika yang mereka pelajari dan peningkatan skor yang mereka peroleh dari pretes ke postes, walupun dengan menggunakan tes konvensional. Temuan yang sama juga dilaporkan dalam penelitian di Bandung, yaitu siswa-siswa SLTP di sekolah percobaan menunjukkan perubahan sikap yang positif terhadap matematika, hal itu dipandang sebagai permulaan yang baik dalam pengembangan pendidikan matematika di Indonesia (Zulkardi, 2002).<br />
Dengan penerapan PMR di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Zamroni (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:<br />
<ul><li>di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;</li>
<li>mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;</li>
<li>bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;</li>
<li>memiliki kepercayaan diri yang tinggi.</li>
</ul><br />
Referensi<br />
<blockquote><i>Armanto, D. (2002). Teaching multiplication and division realistically in Indonesian primary schools: a prototype of local instructional theory. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.</i><br />
<i>Blum, W. and Niss, M. (1989). Mathematical Problem Solving, Modelling, Applications, and Links to Other Subjects – State, Trends and Issues in Mathematics Instruction. In: W. Blum, M. Niss, and I. Huntley (Eds.), Modelling, Applications and Applied Problem Solving: teaching mathematics in a real contexts. Chichester: Ellis Horwoord.</i><br />
<i>De Lange, J. (1995). Assessment: No change without problem. In: T. Romberg (ed.) Reform in school mathematics and authentic assessment. Albany NY: State Univeristy of New York Press.</i><br />
<i>Fauzan, A. (2002). Applying realistic mathematics education in teaching geometry in Indonesian primary schools. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.</i><br />
<i>Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD- Press, the Netherlands.</i><br />
<i>Gravemeijer, K.P.E. (1997). Instructional design for reform in mathematics education. In: Beishuizen, Gravemeijer and Van Lieshout (Eds.) The Role of Contexts and Models in the Development of Mathematics Strategies and Procedures. Utrecht: CD- Press, the Netherlands.</i><br />
<i>Johnson, E.B. (2002). Contextual teaching and learning, what it is and why it’s here to stay. Thaousand Oaks: Corwin Press, Inc.</i><br />
<i>Hadi, S. (2002). Effective Teacher Professional Development for the Implementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.</i><br />
<i>Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan (1999). Kompas. [On-line]. Tersedia: http://kompas.com/kompas%2Dcetak/berita%2Dterbaru/1634.html </i><br />
<i>Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.</i><br />
<i>Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing. </i><br />
<i>Zulkardi. (2002). Developing a learning environment on realistic mathematics education for Indonesian student teachers. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.</i></blockquote></span>bangmashttp://www.blogger.com/profile/05582767906576212712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5111618963807112588.post-6925458430974241942011-02-12T00:36:00.000-08:002011-03-12T00:36:41.295-08:00bangmashttp://www.blogger.com/profile/05582767906576212712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5111618963807112588.post-18522861507707591552011-02-05T02:35:00.001-08:002011-03-14T21:37:18.972-07:00Bilangkan Nol (0)<blockquote></blockquote><br />
Ratusan tahun yang lalu, manusia hanya mengenal 9 lambang bilangan yakni 1, 2, 2, 3, 5, 6, 7, 8, dan 9. Kemudian, datang angka 0, sehingga jumlah lambang bilangan menjadi 10 buah. Tidak diketahui siapa pencipta bilangan 0, bukti sejarah hanya memperlihatkan bahwa bilangan 0 ditemukan pertama kali dalam zaman Mesir kuno. Waktu itu bilangan nol hanya sebagai lambang. Dalam zaman modern, angka nol digunakan tidak saja sebagai lambang, tetapi juga sebagai bilangan yang turut serta dalam operasi matematika. Kini, penggunaan bilangan nol telah menyusup jauh ke dalam sendi kehidupan manusia. Sistem berhitung tidak mungkin lagi mengabaikan kehadiran bilangan nol, sekalipun bilangan nol itu membuat kekacauan logika. Mari kita lihat.<br />
<br />
Nol, penyebab komputer macet<br />
<br />
Pelajaran tentang bilangan nol, dari sejak zaman dahulu sampai sekarang selalu menimbulkan kebingungan bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan masyarakat pengguna. Mengapa? Bukankah bilangan nol itu mewakili sesuatu yang tidak ada dan yang tidak ada itu ada, yakni nol. Siapa yang tidak bingung? Tiap kali bilangan nol muncul dalam pelajaran Matematika selalu ada ide yang aneh. Seperti ide jika sesuatu yang ada dikalikan dengan 0 maka menjadi tidak ada. Mungkinkah 5*0 menjadi tidak ada? (* adalah perkalian). Ide ini membuat orang frustrasi. Apakah nol ahli sulap?<br />
<br />
Lebih parah lagi-tentu menambah bingung-mengapa 5+0=5 dan 5*0=5 juga? Memang demikian aturannya, karena nol dalam perkalian merupakan bilangan identitas yang sama dengan 1. Jadi 5*0=5*1. Tetapi, benar juga bahwa 5*0=0. Waw. Bagaimana dengan 5o=1, tetapi 50o=1 juga? Ya, sudahlah. Aturan lain tentang nol yang juga misterius adalah bahwa suatu bilangan jika dibagi nol tidak didefinisikan. Maksudnya, bilangan berapa pun yang tidak bisa dibagi dengan nol. Komputer yang canggih bagaimana pun akan mati mendadak jika tiba-tiba bertemu dengan pembagi angka nol. Komputer memang diperintahkan berhenti berpikir jika bertemu sang divisor nol.<br />
<br />
Bilangan nol: tunawisma<br />
<br />
Bilangan disusun berdasarkan hierarki menurut satu garis lurus. Pada titik awal adalah bilangan nol, kemudian bilangan 1, 2, dan seterusnya. Bilangan yang lebih besar di sebelah kanan dan bilangan yang lebih kecil di sebelah kiri. Semakin jauh ke kanan akan semakin besar bilangan itu. Berdasarkan derajat hierarki (dan birokrasi bilangan), seseorang jika berjalan dari titik 0 terus-menerus menuju angka yang lebih besar ke kanan akan sampai pada bilangan yang tidak terhingga. Tetapi, mungkin juga orang itu sampai pada titik 0 kembali. Bukankah dunia ini bulat? Mungkinkah? Bukankah Columbus mengatakan bahwa kalau ia berlayar terus-menerus ia akan sampai kembali ke Eropa?<br />
<br />
Lain lagi. Jika seseorang berangkat dari nol, ia tidak mungkin sampai ke bilangan 4 tanpa melewati terlebih dahulu bilangan 1, 2, dan 3. Tetapi, yang lebih aneh adalah pertanyaan mungkinkan seseorang bisa berangkat dari titik nol? Jelas tidak bisa, karena bukankah titik nol sesuatu titik yang tidak ada? Aneh dan sulit dipercaya? Mari kita lihat lebih jauh.<br />
<br />
Jika di antara dua bilangan atau antara dua buah titik terdapat sebuah ruas. Setiap bilangan mempunyai sebuah ruas. Jika ruas ini dipotong-potong kemudian titik lingkaran hitam dipindahkan ke tengah-tengah ruas, ternyata bilangan 0 tidak mempunyai ruas. Jadi, bilangan nol berada di awang-awang. Bilangan nol tidak mempunyai tempat tinggal alias tunawisma. Itulah sebabnya, mengapa bilangan nol harus menempel pada bilangan lain, misalnya, pada angka 1 membentuk bilangan 10, 100, 109, 10.403 dan sebagainya. Jadi, seseorang tidak pernah bisa berangkat dari angka nol menuju angka 4. Kita harus berangkat dari angka 1.<br />
<br />
Mudah, tetapi salah<br />
<br />
Guru meminta Ani menggambarkan sebuah garis geometrik dari persamaan 3x+7y = 25. Ani berpikir bahwa untuk mendapatkan garis itu diperlukan dua buah titik dari ujung ke ujung. Tetapi, setelah berhitung-hitung, ternyata cuma ada satu titik yang dilewati garis itu, yakni titik A(6, 1), untuk x=6 dan y=1. Sehingga Ani tidak bisa membuat garis itu. Sang guru mengingatkan supaya menggunakan bilangan nol. Ya, itulah jalan keluarnya. Pertama, berikan y=0 diperoleh x=(25-0)/3=8 (dibulatkan), merupakan titik pertama, B(8,0). Selanjutnya berikan x=0 diperoleh y=(25-3.0)/7=4 (dibulatkan), merupakan titik kedua C(0,4). Garis BC, adalah garis yang dicari. Namun, betapa kecewanya sang guru, karena garis itu tidak melalui titik A. Jadi, garis BC itu salah.<br />
<br />
Ani membela diri bahwa kesalahan itu sangat kecil dan bisa diabaikan. Guru menyatakan bahwa bukan kecil besarnya kesalahan, tetapi manakah yang benar? Bukankah garis BC itu dapat dibuat melalui titik A? Kata guru, gunakan bilangan nol dengan cara yang benar. Bagaimana kita harus membantu Ani membuat garis yang benar itu? Mudah, kata konsultan Matematika. Mula-mula nilai 25 dalam 3x+7y harus diganti dengan hasil perkalian 3 dan 7 sehingga diperoleh 3x+7y=21.<br />
<br />
Selanjutnya, dalam persamaan yang baru, berikan y=0 diperoleh x=21/3=7 (tanpa pembulatan) itulah titik pertama P(6,1). Kemudian berikan nilai x=0 diperoleh y=21/7 = 3 (tanpa pembulatan), itulah titik kedua Q(0, 3). Garis PQ adalah garis yang sejajar dengan garis yang dicari, yakni 3x+7y=25. Melalui titik A tarik garis sejajar dengan PQ diperoleh garis P1Q1. Nah, begitulah. Sang murid telah menemukan garis yang benar berkat bantuan bilangan nol.<br />
<a href="http://www.forumsains.com/artikel/misteri-bilangan-nol/"></a><br />
Akan tetapi, sang guru masih sangat kecewa karena sebenarnya tidak ada satu garis pun yang benar. Bukankah dalam persamaan 3x1+7x2=25 hanya ada satu titik penyelesaian yakni titik A, yang berarti persamaan 3x1+7x2 itu hanya berbentuk sebuah titik? Bahkan pada persamaan 3x1+7x2=21 tidak ada sebuah titik pun yang berada dalam garis PQ. Oleh karena itu, garis PQ dalam sistem bilangan bulat, sebenarnya tidak ada. Aneh, bilangan nol telah menipu kita. Begitulah kenyataannya, sebuah persamaan tidak selalu berbentuk sebuah garis.<br />
<br />
Bergerak, tetapi diam<br />
<br />
Bilangan tidak hanya terdiri atas bilangan bulat, tetapi juga ada bilangan desimal antara lain dari 0,1; 0,01; 0,001; dan seterusnya sekuat-kuat kita bisa menyebutnya sampai sedemikian kecilnya. Karena sangat kecil tidak bisa lagi disebut atau tidak terhingga dan pada akhirnya dianggap nol saja. Tetapi, ide ini ternyata sempat membingungkan karena jika bilangan tidak terhingga kecilnya dianggap nol maka berarti nol adalah bilangan terkecil? Padahal, nol mewakili sesuatu yang tidak ada? Waw. Begitulah.<br />
<br />
Berdasarkan konsep bilangan desimal dan kontinu, maka garis bilangan yang kita pakai ternyata tidak sesederhana itu karena antara dua bilangan selalu ada bilangan ke tiga. Jika seseorang melompat dari bilangan 1 ke bilangan 2, tetapi dengan syarat harus melompati terlebih dahulu ke bilangan desimal yang terdekat, bisakah? Berapakah bilangan desimal terdekat sebelum sampai ke bilangan 2? Bisa saja angka 1/2. Tetapi, anda tidak boleh melompati ke angka 1/2 karena masih ada bilangan yang lebih kecil, yakni 1/4. Seterusnya selalu ada bilangan yang lebih dekat... yakni 0,1 lalu ada 0,01, 0,001, ..., 0,000001. demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya bilangan yang paling dekat dengan angka 1 adalah bilangan yang demikian kecilnya sehingga dianggap saja nol. Karena bilangan terdekat adalah nol alias tidak ada, maka Anda tidak pernah bisa melompat ke bilangan 2?<br />
diambil dari :<a href="http://www.forumsains.com/artikel/misteri-bilangan-nol/">www.forumsains.com</a>bangmashttp://www.blogger.com/profile/05582767906576212712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5111618963807112588.post-12270511319056343892011-02-05T02:23:00.000-08:002011-02-05T02:31:18.522-08:00Melangkah ke Abstrak<span class="fullpost"><pre><span style="font-family: Arial;"> Pemahaman akan pengertian
abstrak sepertinya masih dianggap sebagai suatu yang sulit bahkan tak
teraplikasi. Bagi orang di pinggir jalan, boleh jadi menganggap orang
yang belajar matematika abstrak sebagai orang sinting. </span></pre></span><br />
<div align="justify"><span style="font-family: Arial;"> Saatnya kita harus menguak apa yang dimaksud abstrak dalam matematika? Apakah suatu yang tidak real? Hanyakah <i>ngoyoworo</i> ataukah hanyakah khayalan orang? Apakah seperti aljabar abstrak itu suatu yang mengada-ada saja ataukah memang harus menuju ke situ?<br />
<br />
Berikut semoga bisa memberi gambaran akan pemahaman tersebut. Sebagai langkah-langkah sebelum ke abstrak, kita berkecimpung dengan aritmatika yang di dalamnya ada proses seperti penjumlahan, perkalian, dan ada penggunaan variabel. Pengenalan abstrak di SMA biasanya dimulai dengan pelajaran induksi matematik dimana harus membuktikan keteraturan sampai tak hingga dengan membuktikan implikasi P<sub>k</sub>--->P<sub>k+1</sub> dan membuktikan P<sub>0</sub> benar. <br />
Waktu kita melangkah dari perhitungan dasar ke penggunaan variabel, kita meluaskan orientasi kepada cakupan perhitungan yang lebih luas. Kita bisa mengoperasikan bilangan-bilangan tanpa mengetahui berapa bilangannya, cukup dengan variabel. Nah ini, dari aritmatika menuju abstrak yang banyak membuat kepala para mahasiswa sakit, sebenarnya juga merupakan perluasan orientasi menuju semakin beragam dan semakin luas. Kita mulai dengan mempelajari sekelompok obyek, lalu interaksi antar obyek, yang lalu kita namakan operasi biner, mempelajari keteraturannya, mempelajari ciri-cirinya, lalu memformulasikannya menjadi aksioma-aksioma.<br />
<br />
Contoh di bawah mungkin bisa menjadi bayangan akan langkah tersebut, kita mulai dengan PENGANTAR TEORI BILANGAN.<br />
<br />
<b>Subgroup bilangan bulat</b><br />
Kita perhatikan perhatikan himpunan bilangan bulat (integer), yaitu {...,-3,-2,-1,0,1,2,3,...} yang lalu biasa dinotasikan dengan Z. < huruf Z ini adalah diambil dari singkatan Zahl=bilangan dari Bhs Jerman><br />
Diberikan suatu himpunan bagian dari Z, katakanlah himpunan S. Himpunan S disebut subgroup dari Z jika memenuhi :<br />
(i) x+y anggota dari S untuk setiap x dan y anggota dari S,<br />
(ii) 0 anggota dari S,<br />
(iii) -x anggota dari S untuk setiap x anggota dari S.</span></div><div align="justify"><span style="font-family: Arial;">< <i>catatan : Kalau pernah mempelajari tentang teori group, maka syarat-syarat di atas tidak lain sifat tertutup(i), ada elemen identitas(ii), dan untuk setiap anggota dari S yang bukan 0 punya invers</i>. <i>Di kasus bilangan bulat ini sifat asosiatif bisa dirunut dg mudah dari sifat tertutup</i> ></span></div><div align="justify"><span style="font-family: Arial;">Suatu himpunan bagian tak kosong S dari Z adalah subgroup jika dan hanya jika x - y anggota dari S untuk setiap x dan y anggota dari S.<br />
Bukti :<br />
S subgroup dari Z ==> x - y anggota S untuk setiap x,y anggota S<br />
Karena y anggota dari S, maka -y anggota dari S <br />
Karena x dan -y anggota dari S, maka x+(-y)=x-y anggota dari S <br />
x - y anggota S untuk setiap x,y anggota S ==> S subgroup dari Z <br />
Karena S tak kososng maka ada anggotanya, misalkan x anggota dari S, maka x-x=0 adalah anggota dari S , jadi 0 dan x anggota dari S sehingga 0-x=-x anggota dari S , lalu jika x dan y anggota dari S, sehingga -y anggota dari S, lalu x-(-y)=x+y anggota dari S . Terbukti.</span></div><div align="justify"><span style="font-family: Arial;">Taruhlah m adalah bilangan bulat, dan kita buat notasi mZ={mn|n anggota Z}. Maka mZ adalah subgroup dari Z.</span></div><div align="justify"><span style="font-family: Arial;"><b>Teorema I<br />
</b>Jika S adalah saubgroup dari Z, maka S = mZ untuk suatu bilngan bulat tak negatif m. < dengan kata lain, teorema ini mengatakan bahwa kalau S adalah subgroup dari Z, maka pasti berbentuk himpunan kelipatan dari suatu bilangan bulat tak negatif {0,1,2,3,...} ><br />
<b>Bukti :</b><br />
Kita buat dua kemungkinan, yaitu :<br />
pertama --> jika S = {0}, maka dapat ditulis S=mZ dengan m=0.<br />
kedua --> jika S tidak sama dengan {0}, atau S memuat bilangan bulat tak nol. Maka tentunya S memuat bilangan bulat positif < <i>karena jika x anggota S maka -x juga anggota S</i> >. Kita ambil misalnya m adalah bilangan bulat positif yang terkecil di S. Lalu suatu bilangan bulat positif n di S akan dapat ditulis dalam bentuk n=qm+r, dimana q adalah suatu bilangan bulat positif dan r suatu bilangan bulat yang memenuhi 0<=r. Dengan demikian r juga anggota S, karena r=n-qm. Karena diasumsikan m adalah yang terkecil, maka haruslah r=0. Jadi n=qm, dengan demikian n anggota mZ, yang berarti S=mZ. Terbukti.<br />
<br />
Teorema tersebut mengatakan bahwa kalau sebuah himpunan yang anggotanya bilangan-bilangan bulat serta memenuhi tiga aksioma untuk subgroup di atas, maka tentulah anggota-anggota himpunan tersebut berbentuk kelipatan dari suatu bilangan bulat positif.</span></div><div align="justify"><span style="font-family: Arial;"><b>Faktor Persekutuan Terbesar</b><br />
Definisi :<br />
Taruhlah <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub> adalah bilangan bulat, yang tidak semuanya nol. Faktor persekutuan dari <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub> adalah suatu bilangan bulat yang membagi habis setiap <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub>. Faktor persekutuan terbesar dari <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub> adalah bilangan bulat positif terbesar yang membagi habis setiap <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub>. Faktor persekutuan terbesar dari <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub> dinaotasikan dengan (<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub>).</span></div><div align="justify"><span style="font-family: Arial;"><b>Teorema II</b><br />
Taruhlah <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub> adalah bilangan bulat, yang tidak semuanya nol. Maka ada bilangan-bilangan bulat sebutlah <i><span style="font-family: Times New Roman;">u</span></i><sub>1</sub>,<i><span style="font-family: Times New Roman;">u</span></i><sub>2</sub>,...,<i><span style="font-family: Times New Roman;">u</span></i><sub>r</sub> sedemikian hingga <br />
(<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub>)=<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub><i>u</i><sub>1 </sub>+ <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i><sub>2</sub></span><i>u</i><sub>2</sub> + . . . +<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i><sub>r</sub></span><i>u</i><sub>r</sub><br />
dimana (<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub>) adalah Faktor Persekutuan Terbesar dari <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub>.<br />
</span><span style="font-family: Arial;"><b>Bukti :</b><br />
Pembuktian teorema ini, pertama kita harus menunjukkan bahwa suatu himpunan S yang anggota-anggotanya berbentuk n<sub>1</sub><span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub><sub> </sub>+ n<sub>2</sub><span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i><sub>2</sub></span> + . . . +n<sub>r</sub><span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i><sub>r</sub> </span><span style="font-family: Arial;">dimana n<sub>1, </sub>n<sub>2,..., </sub>n<sub>r </sub>bilangan-bilangan bulat merupakan subgroup dari Z dengan menunjukkan terpenuhinya 3 aksioma di atas. Lalu setelah terbukti, maka karena <br />
S subgroup Z, akan berbentuk mZ. Dengan kata lain bahwa setiap anggota S merupakan kelipatan dari m. Dengan demikian m adalah faktor persekutuan dari <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r. </sub>Karena FPB adalah faktor persekutuan, maka otomatis ada <i><span style="font-family: Times New Roman;">u</span></i><sub>1</sub>,<i><span style="font-family: Times New Roman;">u</span></i><sub>2</sub>,...,<i><span style="font-family: Times New Roman;">u</span></i><sub>r</sub> sehingga (<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub>,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>2</sub>,...,<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>r</sub>)=<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i></span><sub>1</sub><i>u</i><sub>1 </sub>+ <span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i><sub>2</sub></span><i>u</i><sub>2</sub> + . . . +<span style="font-family: Times New Roman;"><i>a</i><sub>r</sub></span><i>u</i><sub>r. </sub>Terbukti.<br />
<br />
Kiranya, ini bisa menjadi gambaran bahwa yang namanya abstrak bukan suatu yang tidak aplikatif, melainkan adalah perluasan orientasi kita dalam memandang. Memang terlihat lebih sulit, karena kita mencoba menengok yang disebalik dari yang nampak.</span></span></div>kutipan http://www.forumsains.combangmashttp://www.blogger.com/profile/05582767906576212712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5111618963807112588.post-24051280203210338802011-02-05T01:59:00.001-08:002011-02-05T01:59:31.070-08:00Angka Sembilan9 x 1 = 09<br />
9 x 2 = 18<br />
9 x 3 = 27<br />
9 x 4 = 36<br />
9 x 5 = 45<br />
9 x 6 = 54<br />
9 x 7 = 63<br />
9 x 8 = 72<br />
9 x 9 = 81<br />
9 x 10 = 90<br />
<br />
kemudian, jika dpilih sebarang angka dan di kurangkan dengan jumlah semua digitnya, maka jika semua digit dari hasil pengurangan tsb dijumlahkan maka memenuhi kelipatan sembilan (0, 9, 18,...).<br />
cotoh :<br />
123--->1+2+3 =6<br />
123 - 6 = 117<br />
1+1+7 = 9<br />
<br />
2345---> 2+3+4+5 = 14<br />
2345 - 14 = 2331<br />
2+3+3+1 = 9<br />
<br />
dst.....bangmashttp://www.blogger.com/profile/05582767906576212712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5111618963807112588.post-10140950259521692010-01-01T22:42:00.000-08:002011-02-05T03:42:55.908-08:00AwalanHari ini tanggal 11 januari 2011 tepatnya pukul 12.30 wib ku selesasaikan tahap pertama pembuatan web dengan judul ANTIK ( anak matematika ). seterusnya web ini akan diisi dengan segenap pengetahuanku tentang matematika serta dan masalah dalam pembelajaran matematika di sekolah serta pemecahannya.bangmashttp://www.blogger.com/profile/05582767906576212712noreply@blogger.com1